GROBOGAN – Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Jawa Tengah bersama Mitra Kerja Komisi IX DPR RI menggelar Sosialisasi Program Bangga Kencana (Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana). Acara ini berlangsung pada Minggu, (30/11/2025), di Balai Desa Tlogomulyo, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan. Kegiatan ini bertujuan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya perencanaan keluarga, pencegahan stunting, dan bahaya pernikahan usia dini.
Suwarno, S.H., M.M., perwakilan dari BKKBN Provinsi Jawa Tengah, menyampaikan keprihatinannya terkait data stunting di wilayah tersebut. Angka stunting di Jawa Tengah berada di angka 17%, namun di Kabupaten Grobogan angkanya jauh lebih tinggi, yakni lebih dari 25,1%.
"Stunting disebabkan karena kurangnya asupan gizi dan infeksi berulang sehingga tumbuh kembang anak terganggu," jelas Suwarno.
Lebih lanjut, ia menyoroti data perilaku seksual remaja yang mengkhawatirkan. Sekitar 20% remaja di usia 14−15 dan 19−20 tahun dilaporkan sudah berhubungan seksual, dan angka ini melonjak menjadi 59% pada usia 16−17 tahun. Perilaku ini berpotensi besar menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan yang pada akhirnya turut berkontribusi pada kasus stunting.
Nur Rokhim, Kepala Bidang DP3AKB Kabupaten Grobogan, dalam materinya menjelaskan korelasi antara pernikahan usia dini dan stunting. Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang menetapkan batas usia minimal pernikahan adalah 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan. Namun, secara kesehatan dan psikis, usia ideal pernikahan adalah 21 tahun untuk wanita dan 25 tahun untuk laki-laki.
Faktanya, di Grobogan, lebih dari 50% pasangan nikah mengajukan rekomendasi untuk menikah di bawah usia 19 tahun.
"Jangan kau pakai gaun pengantinmu sebelum kau pakai toga sarjanamu," tegas Nur Rokhim, menekankan pentingnya pendidikan sebelum memasuki jenjang pernikahan.
Ia juga menyoroti ironi data stunting di Grobogan. Pada tahun 2019, angka stunting Grobogan sempat berada di angka 9% dan menjadi percontohan. Namun, berdasarkan data terbaru SSGI tahun 2024, angka stunting justru melonjak drastis menjadi 25,6%.
Salah satu faktor penyebab utamanya adalah rendahnya kesadaran ibu untuk menyusui anaknya hingga dua tahun. Di Indonesia, hanya 48% ibu yang menyusui anaknya secara optimal. Selain itu, permasalahan pola asuh, kecukupan gizi, dan perceraian akibat pernikahan usia dini juga menjadi pemicu stunting. Nur Rokhim juga meluruskan bahwa Stunting pasti pendek, tetapi pendek belum tentu stunting.
Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, selaku mitra kerja, turut menegaskan urgensi penanganan stunting. Ia menyatakan keprihatinannya atas tingginya angka stunting di Grobogan yang mencapai 25,6%.
"Stunting adalah terutama di 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) anak kekurangan gizi sehingga otaknya kecil dan sulit tumbuh cerdas, menutup peluang anak untuk sukses," ujar Edy.
Oleh karena itu, BKKBN berkomitmen untuk terus berkeliling dari kecamatan ke kecamatan demi mengedukasi masyarakat. Ia menggarisbawahi bahwa tingginya usia pernikahan dini akan berbanding lurus dengan tingginya angka stunting. Maka dari itu, perencanaan pernikahan yang matang adalah langkah awal yang krusial untuk mencegah terjadinya stunting dan menciptakan generasi yang sehat serta cerdas.
